Friday, May 27, 2011

Ketika Hidup Meninggalkan Jejak


Life for me is like juggling balls. Itulah gambaran yang tepat dalam memaknai hidup menurutku, dimana dalam hidup kita, kita bermain, dengan bola-bola kehidupan; bola pekerjaan, bola keluarga, bola iman, bola teman, dan bola kesehatan adalah bola-bola yang paling kita anggap penting dalam hidup. Seiiring waktu , kita pun kehilangan keseimbangan, dan harus memilih salah satu bola untuk jatuh, disinilah orang sering kali tidak sadar, demi melempar tinggi-tinggi pekerjaan ataupun kuliah sering sekali orang-orang mengorbankan entah teman, entah keluarga, entah kesehatan, dan yang paling parah ketika ia mengorbankan keimanannya untuk menyelamatkan pekerjaannya.

Sebuah kisah menceritakan tentang seorang anak yang sangat emosional dan tidakmudah menahan emosinya, ia dengan mudahnya menyakiti orang lain disekitarnya untuk memenuhi ego pribadi nya sendiri. Suatu saat sang ayah memanggil si anak, dan berbincang-bincang dengan anak tersebut, dan mereka membuat kesepakatan. Sang ayah membuat perjanjian dengan anaknya, bahwasanya setiap anak itu melukai orang lain, ataupun marah terhadap orang lain, sang anak harus memaku satu paku dipagar taman belakang untuk setiap orang yang ia lukai atau yang ia marah padanya. Akhirnya setiap hari sang anak memasang beberapa paku dipagar, namun setiap harinya jumlah paku yang dipasang setiap harinya semakin berkurang. Pada suatu hari akhirnya anak itu berhasil untuk berhenti memasang paku-paku itu dipagar. Akhirnya sang Ayah kembali memanggil anak tersebut, dan mengatakan pada anak tersebut untuk mencabut tiap paku yang ada dipagar tersebut setiap kali sang anak melakukan kebaikan terhadap orang lain. Sang anak pun tiap hari mencabuti satu persatu paku yang telah ia tancapkan dipagar itu dahulu, hingga sampai sutu hari semua paku itu pun tercabut, akhirnya sang ayah pun mendatangi anak tersebut dan berkata, “Wahai anakku, lihatlah ke pagar tersebut, lihatlah pada tempat-tempat dimana engkau pernah menancapkan paku-paku tersebut. Apa yang kau lihat?” Anaknya menjawab, “aku melihat lubang lubang kecil, ayah.” Sang Ayah pun tersenyum, “Benar sekali anakku, begitu pulalah hidup dan hati manusia, kalau engkau telah melukai hati manusia, sebaik apapun engkau, berusaha memperbaikinya, akan tetap ada bekas pada hati-hati yang engkau lukai, akan tetap ada goresan, noda, maupun retakan, pada hati yang telah engkau lukai. Maka dari karena itu anakku, berhati hatilah dalam bertindak, jagalah perasaan orang di sekitarmu, dan berusahalah untuk tidak melukai hati orang lain, Karena itu akan meninggalkan bekas, karena bekas itu akan ada disana untuk selamanya.”

Cerita tentang Ayah dan Anak, dengan perumpamaannya tentang kehidupan sangatlah sesuai dengan kehidupan yang kita jalani saat ini. Rasa egois kita sering kali akhirnya mengorbankan teman, mengorbankan keluarga, mengorbankan iman. Ketika rasa ego kita akhirnya mengorbankan bola – bola kehidupan yang terbuat dari kaca tersebut, maka yang kita akan temukan adalah retaknya, tergoresnya, ternodanya, atau bahkan hancur berkeping-kepingnya bola – bola tersebut, yang mana kita tak kan pernah bisa satukan kembali menjadi seperti semula. Ingatlah wahai kawan, setiap tindakan itu akan selalu berbekas, setiap tindakan itu akan meninggalkan noda, dan setiap tindakan akan di minta pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Jadi mari memilih, meninggalkan bekas luka, atau meninggalkan ukiran-ukiran indah di dalam kehidupan kita? Meninggalkan noda noda hitam di atas hati? Atau meninggalkan warna-warna yang mencerahkan hati? Akankah kita mengorbankan iman, demi keegoisan seorang insan? Semoga kita bisa memilih dengan bijak akan jalan yang kita pilih, semoga kita bisa memilih dengan hati, dan selalu berhati-hati untuk menjaga perasaan orang lain.

Bara E. Brahmantika "Il Grande Statista"