Sudah agak lama nih hiatus dari
dunia blog ngeblog, cukup lama untuk dikatakan sebagai penulis yang kurang
(atau tidak) produktif. Banyak alasan yang bisa digunakan untuk menjelaskan
ketidak produktifan ini, tapi well, mungkin harus mulai kumasukin ke list
Bara’s rule, bahwasanya Bara’s rules number one, “A lame excuse is only for losers”
Ok, untuk tulisan kali ini aku
akan kubahas tentang event yang baru saja aku ikut serta, IndonesiaMUN (IMUN)
2011 yang diselenggarakan di UI. Event kompetisi simulasi sidang PBB (Model of
United Nations) ini telah mempunyai tempat sendiri dalam hidupku sebagai
mahasiswa. Pertama kali aku mengikuti
IMUN tahun lalu, I was fall in love with MUN, yang mana semenjak itu MUN
menjadi salah satu hal yang aku mendedikasikan waktu dan tenaga untuknya, Tahun
ini alhamdulillah dapet kesempatan untuk mengikuti IMUN untuk kedua kalinya,
while IMUN 2010 becoming the most memorable IMUN for me, IMUN 2011 menjadi IMUN
paling applausible, kalau IMUN 2010 itu diadain untuk membuat aku jatuh cinta
sama MUN, IMUN 2011 diadain untuk membuat aku menyadari seberapa mengerikannya
MUN, kalau aq mendiskripsikan IMUN 2010
dengan “Enjoyable MUN experience” , aku harus mendeskripsikan IMUN 2011
sebagai, “intensely fun MUN learning experience” dan kalau ditanya mana pengalaman yang lebih
useful untukku kedepannya, aku akan jawab, “IMUN 2011”
IMUN 2011 buatku was a bitter
sweet experience, kembali sebagai delegate of USA, di komite yang sama dengan
tahun sebelumnya ASEAN Regional Forum dengan double delegates membuat beban
yang kupikul makin berat, terutama sebagai Best Delegate tahun 2010, dan beban
sebagai partner yg lebih berpengalaman untuk memberikan pengalaman terbaik bagi
partner yg kupilih untuk maju bersama di kompetisi ini, beban untuk mengulangi
kesuksesan partner terdahulu, dan mempertahankan gelar juara ini akhirnya
membuat beban yang dipikul overpower kepercayaan diri yang diperoleh dari
pengalaman sebelumnya, belum lagi ketika aku sadar, bahwasanya banyak orang
hebat berpengelaman dari IMUN tahun lalu (seterusnya akan disebut : Monsters)
ternyata turun gunung kembali untuk berkompetisi di ajang IMUN tahun ini, dan
kita semua kebetulan akan bersaing dikomite yang sama. Knowing their incredible
skills, and experiences membuat pressure yang ada jadi semakin berat untuk
dipikul. From that moment on, aq sadar, bahwasanya konferensi tahun ini akan
jadi kompetisi yang berat, dan somehow I got a feeling that it will not end
well for me, and in fact that prophecy of mine, came true in the end.
After three days of competition
I’m doing my better day by day selama kompetisi, i think i perform well, but it
was not enough, the fact that I didn’t do my best selama kompetisi, membuat aku
harus menelan pil obat yang cukup pahit untuk ditelan tanpa menggunakan segelas
susu. Sadar bahwasanya ada kompetisi yang tidak bisa dimenangkan, membuatku
mencari fighting ground dimana aq masih punya kesempatan, juara 3 atau yang
biasa disebut dengan hoourable mention memang jadi sasaran dan targetku semenjak
hari kedua, fighting hard untuk memperoleh tempat di urutan ketiga, dengan
berusaha untuk memasukkan semua kepentingan dan goal kedalam resolusi final,
yang mana berhasil dilakukan ternyata tidak menjamin untuk menempatkan diri di
podium ketiga, dimana juri (chair persons dalam MUN) ternyata mempunyai
penilaian yang berbeda, in the end, podium ketigapun harus direlakan pada
delegate of China, whom also had a great influence throughout the conference.
Lost from great persons that I admire, made the lost was more acceptable to me.
Tapi gak ada kekalahan yang menyenangkan atau mudah diterima, terutama ketika
kita membawa beban2 dan kepercayaan serta tahu bahwasanya kita bisa jadi lebih
baik lagi. It was a shocking experience to me, menyakitkan, dan menyesakkan,
the failure untuk tetap meninggikan nama UGM dan mempertahankan gelar juara,
juga tanggungan yang ku bawa sebagai partner leave a tremendous pressure during
the closing ceremony, seakan2 semua beban yang dipikul itu diangkat
tinggi-tinggi dan dijatuhkan dengan keras ke bawah, I was falling, and I was
falling hard. Untuk sementara waktu I’m lost di tengah tengah gemuruh tepuk
tangan dan sorakan-sorakan ketika nama-nama pemenang diumumkan, banyak pikiran
yang melintas di kepala, sambil tetap berusaha tersenyum dan tetap bertepuk
tangan meramaikan suasana, dalam kenyataannya, i was at the shocking state,
sedang berusaha untuk memastikan wheter it is a real or not. The feeling yang
ku rasakan waktu itu hanya bisa dirasakan oleh mereka yang pernah merasakan the
taste of losing, tapi setelah mengumpulkan kembali semangat diri, dan fokus pada acara malam itu, serta
berusaha menerima kenyataan yang ada, akhirnya aku sadar bahwa kekalahan itu
bukanlah sebuah akhir, this is the beggining, kekalahan pada malam itu adalah
sebuah anugrah, setelah itu aku langsung
memutuskan untuk keluar dari venue, pulang lebih dulu untuk berkumpul bersama
teman2 sebagai hiburan dan mengevaluasi diri sendiri.
After that, personally for me, I
believe there is no better taste than the taste of defeat, and I’m very
grateful that I’ve taste that in my life. Rasa dari sebuah kekalahan itu memang
pahit, namun rasa pahit inilah yang justru menguatkan, rasa yang mana harus
kita ingat terus, sambil berjanji pada diri untuk tidak lagi akan merasakan hal
yang sama untuk kedua kalinya. Rasa pahit inilah yang membuat kita maju,
bergerak, berlatih, dan berusaha untuk memenangkan kembali apa yang telah
hilang. Rasa pahit dari kekalahan ini pula yang memebuat kita belajar, belajar
banyak hal, belajar untuk tidak kalah, dan belejar untuk menang, ketiika kita
mengalami kekalahan, banyak yang akan kita pelajari dari para pemenang. Bagi
sebagian orang, menerima kekalahan bukanlah sebuah hal yang mudah, menerima
kenyataan bahwa masih banyak manusia yang lain yang jauh lebih superior dari
kita adalah sebuah hal yang tidak mudah, fakta bahwa manusia memiliki kebutuhan
untuk diakui dan aktualisasi diri adalah hal yang membuat kita sulit menerima kenyataan
ketika pengakuan dan aktualisasi itu diberikan pada orang lain. Tapi menolak
kenyataan tidak akan memebuat semua itu lebih mudah buat kita, menerima
kenyataan bahwasanya ada orang lain yang diberikan kelebihan yang tidak kita
miliki, dan menerima fakta bahwa masih banyak ruang bagi kita untuk belajar dan
berkembang justru akan membuat semua ini lebih mudah buat kita. Bukanlah
menolak kenyataan yang harus dilakukan, namun melihat sebuah kekalahan sebagai
sebuah pembelajaran, dan sumber yang harus dievaluasi, kita harus melihat
kekalahan sebagai sebuah ruang untuk berkembang, melihat kekalahan, sebagai sebuah
kesempatan untuk memotivasi diri untuk segera berlatih, maju, dan menang. Kekalahan
harusnya menyadarkan kita bahwasanya kita bukanlah manusia yang sempurna, dan
bahwasanya kita masih memeliki banyak kekurangan yang harus segera ditutupi. Kekalahan
harusnya membuat kita lebih baik, membuat kita lebih berkembang, dan
bersemangat dalam menghadapi tantangan, bukan justru melemahkan kita, dan
membuat kepala kita tertunduk lemas. Dalam setiap kekalahan ada momentum untuk
bangkit, untuk berdiri kembali setelah beberapa saat tergeletak di tanah, untuk
kembali berlari setelah tersandung beberapa batu kerikil ditengah jalan. So now, wipe the sweat from your brow, and the
tears from your eyes, and let’s keep pushing through and go forward.
Pemenang adaalah dia yang mampu
mengambil kekuatan dari sebuah kekalahan, axioma bahwasanya seseoarang harus
memahami arti dari sebuah kekalahan untuk mencapai kemenangan. yang hakiki mungkin ada benarnya. Karena seoarang
pemenang haruslah seoarang yang mampu untuk mengalami dan menerima kenyataan. Seperti
sebuah kata pepatah kuno, “A glod that has a flaw is better than a rock without
it.” Bahwasanya sebuah kekalahan dimana kita bisa belajar itu akan lebih baik
dari pada sebuah kemenangan yang justru akan menghentikan kita untuk
berkembang. Last but not least, never ever waste your loses, if you have to
lose, be a loser, but only do it for a sake to be the winner in the next turn.
"Never ever forget the taste of defeat"
Bara E. Brahmantika "il Grande Statista"