Tuesday, September 25, 2012

Angels, Demons, and Humans

The Demon and Angel of the Human Heart

     Bagi orang yang belajar juga tentang pemikiran politik klasik, aku selalu dibingungkan dalam mencapai sebuah kesimpulan, bahkan pada konsep paling dasar sekalipun. perdebatan para pemikir klasik dari realisme dan lberalisme, dua pandangan paling tua, dan paling dasar dari aliran aliran pemikir politik tentang sifat dasar manusia tetap tak terselesaikan, pertanyaan yang sampai sekarang bahkan tidak terjawab, tentang apa yang dinamakan sifat dasar manusia, apakah manusia adalah setan yang memiliki sifat-sifat malaikat dalam dirinya, atau seorang malaikat yang memiliki setan-setan kecil dalam dirinya. apakah manusia pada dasarnya baik lalu menjadi jahat seiring waktu, atau memang secara naluriah seorang perusak yang lambat laun mampu belajar tentang kasih dan menahan diri dari pengerusakan berlebihan?

       Entahlah perdebatan ini panjang rasanya, dan tak cukup untuk ditanyakan pada satu dua orang saja, manusia itu memang kompleks, entah berapa lama telah dipelajari, berapa banyak yang sudah berusaha memeahami manusia, tapi tak kunjung semuanya mampu memunculkan sebuah formula ataupun asumsi dasar yang mampu menjawab semua perilaku manusia. Sepertinya manusia memang selalu tumbuh dan belajar sesuatu zamannya, terkontruksi oleh pengalaman dan ide-ide yang berkembang selama peradaban manusia, menjadikan manusia sebagai objek penelitian yang dinamis, yang mampu berpikir, dan berubah, secara cepat, bahkan saking cepatnya sampai pada tahap, dimana logika bisa saja kadaluarsa secara cepat, dan membuat rasio menjadi suatu hal yang kadang tak dapat diandalkan tuk memprediksi perilaku manusia selanjutnya. fenomena-fenomena lama dalam kemasan baru selalu muncul dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi manusia, yang kadang memaksa asumsi-asumsi lama tehadap manusia untuk memensiunkan diri atau memperbarui dirinya.

       Manusia tidak akan pernah berhenti berkembang dan belajar, sehingga setiap orang yang berusaha memahami tentang manusia pun akan terus berada pada lingkaran penelitian dan pemahaman yang tak terputus tentang ilmu atas manusia yang tak akan pernah sampai pada sebuah titik akhir,kecuali saat peradaban manusia menghilang. Pencarian tentang siapa kita, apa tujuan kita hidup, dan akan kemana kita pergi akan selalu menjadi jawaban yang tak akan kita temukan secara utuh kecuali di akhir perjalanan nanti, dimana kita menemukan diri kita seutuhnya, entah itu sebagai malaikat yang jatuh bersama setan-setan kecil dalam dirinya, atau sebagai setan-setan yang bangkit kepermukaaan dengan sayap sayap malaikatnya. 

Bara E. Brahmantika "il Grande Statista"

more on: http://grandestatista.tumblr.com

Monday, August 27, 2012

Berani Memimpin, dengan Berani Dipimpin



Kepemimpinan bukanlah semata tentang bagaimana kita memimpin, tapi bagaimana melayani. Bagiku, kepemimpinan bukanlah suatu hal yang harus dibanggakan, tapi menjadi pemimpin harus membuat kita semakin rendah hati, dan justru sederhana.

Seorang pemimpin adalah seorang yang harus mampu untuk melayani, jalur kepemimpinan diraih dengan melayani, karena tangga menuju singgasana kepemimpinan yang sejati haruslah diraih dengan menaiki tangga tangga pelayanan, karena kepemimpinan bukanlah suatu hal yang mampu dipelajari dengan instan, namun harus dipelajari dengan cara melayani, karena pemimpin yang tidak mampu melayani tidak akan mampu memimpin.

Pernyataan Iwan Fals bahwanya, “Wakil rakyat seharusnya merakyat” benar kiranya, karena selain menjadi seseorang yang mampu mengarahkan sebuah team menuju sebuah tujuan yang lebih baik, sudah seharusnya pemimpin adalah seseorang yang mampu secara kontinue, konsisten, dan komitmen untuk melayani dan mengayomi serta memotivasi orang orang yang berada di bawahnya, memotivasi untuk terus bergerak, dan berbuat lebih baik lagi dari pada sebelumnya. Pemimpin harus mampu melayani orang orang dibawahnya untuk membantu mereka dan memastikan bahwasanya mereka dalam keadaan untuk melakukan tugasnya dengan baik, karena kekuatan yang sebenarnya dinilai dari seberapa banyak potensi dari rekan kerja kita yang berhasil kita wujudkan kedalam karya nyata dengan cara melayani mereka sebisa kita, seberapa jauh rekan kerja kita dapat melangkah saat dengan bantuan kita, itulah kekuatan sesungguhnya, bukan justru dengan berusaha mengekang mereka, menekan mereka, dengan tuntutan tuntutan dan keinginan keinginan yang kita inginkan, karena bentuk sebuah penekanan dan pemaksaan terhadap rekan kerja dengan menggunakan kekuasaan yang kita punya justru hanyalah sebuah bentuk dari kelemahan.

Bersama kita melayani orang yang memimpin kita, dan bersama pula kita memastikan bahwasanya orang orang yang berada dibawah kepemimpinan kita untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari diri kita. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mampu berada di garda terdepan dalam setiap aksi, bukan untuk mengambil alih pekerjaan orang lain, ataupun melakukan micro managing, tapi untuk bertanya kepada orang yang dipimpinnya apa yang bisa ia lakukan dalam membantu pekerjaan mereka, dan bersiap melayani dan mendengarkan orang yang kita pimpin, karena kepemimpjnan sejati adalah bukan dengan cara meminta penghormatan dan ketundukan orang yang kita pimpin dengan melakukan intimidasi karena respect dan loyalty bersifat seperti air di telapak tangan kita, yang mana semakin erat kita menggenggam, semakin banyak pula yang keluar dan jatuh dari genggaman tangan ini, pemimpin yang sejati harus mampu melihat apakah loyalitas orang yang berada dibawah kepemimpinannya adalah hasil dari what he/she can do for them or what she/he can do to them. Karena ketika seseorang merasa mereka terlalu besar untuk melayani, maka ia adalah orang yang terlalu kecil untuk memimpin.

Bara E. Brahmantika "il Grande Statista"

more on: http://grandestatista.tumblr.com 

Monday, January 30, 2012

Kau, Aku, dan Diam.



Lama sekiranya kita telah terjebak dalam diam. Yang berhadiahkan angan-angan, dalam permainan tebak tebakan untuk menyikap makna tersirat dalam setiap yang tersurat. Kita diam dalam sebuah petak umpet, permainan kucing kucingan, takut apabila dipertemukan dengan kebenaran.  

Lama aku telah menjadi bayang-bayang, yang hanya bisa menemanimu dalam gelap, dalam diam. Menikmati keindahanmu dalam kesendirian, dalam kegelapaan. Takut apabila cahaya terang benderang bersinar, memperlihatkan wujud asli yang terbungkus dalam bayangan, menelanjangi setiap rasa dalam hati yang akhirnya akan membuatku terhapus dalam kehidupanmu, bahkan hilang dari ingatan.

Dulu setiap detik dari kita telah dihabiskan dalam perjalanan untuk saling bertemu, namun tak pernah kita mencoba untuk menyamakan peta, ataupun menuju arah mata angin yang sama, keangkuhan membuat jalan kita terpisah. kita diam, sambil berdoa untuk menemukan jalan, bahwa suatu saat kita akan dipertemukan.

Pertemuan dua hati hanya menjadi impian impian, sekedar imajinasi untuk menghibur diri.  Cinta diberlakukan bak dewa, ia menjadi pajangan yang disembah, kita berharap suatu saat ia akan tumbuh sendiri, menemukannya jalannya sendiri, berharap rahasia kehidupan membawanya kepada diri yang hanya diam dan menunggu disini.

Namun arus kehidupan itu kuat dan kejam, tak ada toleransi bagi mereka yang memilih untuk diam, air yang tak mengalir akan membeku sampai dasar apabila musim dingin tiba, cinta yang terus terpendam akan mati,  terkubur dalam kekeringan di ruang tanpa cahaya. Jalannya waktu membuat kebenaran makin terpojok, membuat kita semakin takut, takut kehilangan yang akhirnya memaksa kita untuk berkata jujur dan memaksa kita untuk mengakui bahwasanya tak seharusnya cinta dipajang dan disembah bagaikan dewa, bahwasanya cinta bukan iming-iming belaka, ia nyata, dan ia tak dapat bertahan apabila ia dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan, karena cinta itu adalah kita.

Cinta itu hidup, dan ia perlu bergerak, perlu mengalir untuk terus hidup dan berkembang. Saatnya bagi kita untuk memilih, ingin segera ku lepaskan jari ini dari tombol tunda, membiarkan ranjau itu meledak, membiarkan gunung itu meletus sehingga tinggal kebenaran yang tersisa diantara kita. Kebenaran bahwasanya tak perlu lagi aku menjadi bayangan,  hingga bisa kudekati engkau dengan perlahan, tanpa harus saling membendung. Dimana langkah kaki kita bisa sejalan, dan kita bisa saling bergandengan tangan untuk saling mengiring, hingga kita berduapun lebur dalam kenyataan, dalam kebenaran yang menghangatkan. Hingga yang tersisa adalah kenyataan yang akan meruntuhkan diam.

Teruntuk engkau, udara dan inspirasiku. terima kasih. "B"

Bara E. Brahmantika, "Il Grande Statista"

Yogyakarta, 30 Januari 2012

more on : grandestatista.tumblr,com