Berulang kali sebenarya Mama telah meminta, meminta ku dalam keadaan serius maupun bercanda, Untuk membawa sebuah berlian untuk ditunjukkan padanya dan papa.
Namun tak kunjung pula ku bisa penuhi permintaan itu, aku hanya bisa tersenyum, miris, dan berjanji untuk membawakannya segera, kata “insyaallah” tak lupa ku ucapkan, kadang lirih, tak terdengar, kadang jelas, bersama sebuah senyuman.
Mudah sebenarnya mencari sebuah berlian, tinggal ku susuri pasar-pasar dan pinggiran-pinggiran jalan, mengambil berlian-berlianan, berlian buat-buatan, yang mirip sekali bentuknya, sama bahkan kadang lebih berkilau dari berlian yang sebenarnya. Namun ini kah yang aku persembahkan? ini kah yang aku akan banggakan? ah, sepertinya tidak, walau compang-camping seperti ini, aku masih punya harga diri. walau belopotan lumpur dan oli seperti ini, wajah ini haruslah tetap terhormat dan tegap memandang ke depan, karena sejarah tak akan menghapus apa yang ia telah tuliskan.
Jadi bersabarlah sebentar oh Ibunda, bertahanlah sebentar ayahanda, sabar lah sebentar lagi, berikanlah waktu bagi anakmu ini untuk memperbaiki diri, membersihkan diri dari lumpur-lumpur dan oli. Merapikan diri dari kecompang-campingan ini. Agar pantas kiranya apabila ku masuki rumah Sang Pembuat berlian itu tuk meminta dari-Nya salah satu berlian pujaan itu. Karena sungguh berlian murni itu hanyalah untuk orang yang murni pula hatinya, berlian Indah itu hanya untuk orang yang telah memperindah akhlaknya.
Sampai saat itu terjadi ku mohon pada papa mama tuk tetap menanti, menanti sampai suatu saat dimana anakmu telah siap untuk melengkapi dirinya, dengan perhiasan berlian untuk ditunjukkan padamu nanti. sampai saat itu tiba mohon tetaplah berdoa untuk anakmu ini, semoga cepat ku pantaskan diri ini, tuk menjemput sebuah berlian pujaan hati.
amiiin. emang wajar sih, namanya juga orangtua.
ReplyDeletetakut kalau nggak sempet ngasih apapun buat cucunya. ^
perumpamaan yang bagus.. :)
ReplyDelete