Sunday, October 9, 2011

IndonesiaMUN 2011




Sudah agak lama nih hiatus dari dunia blog ngeblog, cukup lama untuk dikatakan sebagai penulis yang kurang (atau tidak) produktif. Banyak alasan yang bisa digunakan untuk menjelaskan ketidak produktifan ini, tapi well, mungkin harus mulai kumasukin ke list Bara’s rule, bahwasanya Bara’s rules number one, “A lame excuse is only for  losers”

Ok, untuk tulisan kali ini aku akan kubahas tentang event yang baru saja aku ikut serta, IndonesiaMUN (IMUN) 2011 yang diselenggarakan di UI. Event kompetisi simulasi sidang PBB (Model of United Nations) ini telah mempunyai tempat sendiri dalam hidupku sebagai mahasiswa. Pertama kali aku mengikuti  IMUN tahun lalu, I was fall in love with MUN, yang mana semenjak itu MUN menjadi salah satu hal yang aku mendedikasikan waktu dan tenaga untuknya, Tahun ini alhamdulillah dapet kesempatan untuk mengikuti IMUN untuk kedua kalinya, while IMUN 2010 becoming the most memorable IMUN for me, IMUN 2011 menjadi IMUN paling applausible, kalau IMUN 2010 itu diadain untuk membuat aku jatuh cinta sama MUN, IMUN 2011 diadain untuk membuat aku menyadari seberapa mengerikannya MUN,  kalau aq mendiskripsikan IMUN 2010 dengan “Enjoyable MUN experience” , aku harus mendeskripsikan IMUN 2011 sebagai, “intensely fun MUN learning experience”  dan kalau ditanya mana pengalaman yang lebih useful untukku kedepannya, aku akan jawab, “IMUN 2011”

IMUN 2011 buatku was a bitter sweet experience, kembali sebagai delegate of USA, di komite yang sama dengan tahun sebelumnya ASEAN Regional Forum dengan double delegates membuat beban yang kupikul makin berat, terutama sebagai Best Delegate tahun 2010, dan beban sebagai partner yg lebih berpengalaman untuk memberikan pengalaman terbaik bagi partner yg kupilih untuk maju bersama di kompetisi ini, beban untuk mengulangi kesuksesan partner terdahulu, dan mempertahankan gelar juara ini akhirnya membuat beban yang dipikul overpower kepercayaan diri yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya, belum lagi ketika aku sadar, bahwasanya banyak orang hebat berpengelaman dari IMUN tahun lalu (seterusnya akan disebut : Monsters) ternyata turun gunung kembali untuk berkompetisi di ajang IMUN tahun ini, dan kita semua kebetulan akan bersaing dikomite yang sama. Knowing their incredible skills, and experiences membuat pressure yang ada jadi semakin berat untuk dipikul. From that moment on, aq sadar, bahwasanya konferensi tahun ini akan jadi kompetisi yang berat, dan somehow I got a feeling that it will not end well for me, and in fact that prophecy of mine, came true in the end.

After three days of competition I’m doing my better day by day selama kompetisi, i think i perform well, but it was not enough, the fact that I didn’t do my best selama kompetisi, membuat aku harus menelan pil obat yang cukup pahit untuk ditelan tanpa menggunakan segelas susu. Sadar bahwasanya ada kompetisi yang tidak bisa dimenangkan, membuatku mencari fighting ground dimana aq masih punya kesempatan, juara 3 atau yang biasa disebut dengan hoourable mention memang jadi sasaran dan targetku semenjak hari kedua, fighting hard untuk memperoleh tempat di urutan ketiga, dengan berusaha untuk memasukkan semua kepentingan dan goal kedalam resolusi final, yang mana berhasil dilakukan ternyata tidak menjamin untuk menempatkan diri di podium ketiga, dimana juri (chair persons dalam MUN) ternyata mempunyai penilaian yang berbeda, in the end, podium ketigapun harus direlakan pada delegate of China, whom also had a great influence throughout the conference. Lost from great persons that I admire, made the lost was more acceptable to me. Tapi gak ada kekalahan yang menyenangkan atau mudah diterima, terutama ketika kita membawa beban2 dan kepercayaan serta tahu bahwasanya kita bisa jadi lebih baik lagi. It was a shocking experience to me, menyakitkan, dan menyesakkan, the failure untuk tetap meninggikan nama UGM dan mempertahankan gelar juara, juga tanggungan yang ku bawa sebagai partner leave a tremendous pressure during the closing ceremony, seakan2 semua beban yang dipikul itu diangkat tinggi-tinggi dan dijatuhkan dengan keras ke bawah, I was falling, and I was falling hard. Untuk sementara waktu I’m lost di tengah tengah gemuruh tepuk tangan dan sorakan-sorakan ketika nama-nama pemenang diumumkan, banyak pikiran yang melintas di kepala, sambil tetap berusaha tersenyum dan tetap bertepuk tangan meramaikan suasana, dalam kenyataannya, i was at the shocking state, sedang berusaha untuk memastikan wheter it is a real or not. The feeling yang ku rasakan waktu itu hanya bisa dirasakan oleh mereka yang pernah merasakan the taste of losing, tapi setelah mengumpulkan kembali semangat diri,  dan fokus pada acara malam itu, serta berusaha menerima kenyataan yang ada, akhirnya aku sadar bahwa kekalahan itu bukanlah sebuah akhir, this is the beggining, kekalahan pada malam itu adalah sebuah anugrah,  setelah itu aku langsung memutuskan untuk keluar dari venue, pulang lebih dulu untuk berkumpul bersama teman2 sebagai hiburan dan mengevaluasi diri sendiri.

After that, personally for me, I believe there is no better taste than the taste of defeat, and I’m very grateful that I’ve taste that in my life. Rasa dari sebuah kekalahan itu memang pahit, namun rasa pahit inilah yang justru menguatkan, rasa yang mana harus kita ingat terus, sambil berjanji pada diri untuk tidak lagi akan merasakan hal yang sama untuk kedua kalinya. Rasa pahit inilah yang membuat kita maju, bergerak, berlatih, dan berusaha untuk memenangkan kembali apa yang telah hilang. Rasa pahit dari kekalahan ini pula yang memebuat kita belajar, belajar banyak hal, belajar untuk tidak kalah, dan belejar untuk menang, ketiika kita mengalami kekalahan, banyak yang akan kita pelajari dari para pemenang. Bagi sebagian orang, menerima kekalahan bukanlah sebuah hal yang mudah, menerima kenyataan bahwa masih banyak manusia yang lain yang jauh lebih superior dari kita adalah sebuah hal yang tidak mudah, fakta bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk diakui dan aktualisasi diri adalah hal yang membuat kita sulit menerima kenyataan ketika pengakuan dan aktualisasi itu diberikan pada orang lain. Tapi menolak kenyataan tidak akan memebuat semua itu lebih mudah buat kita, menerima kenyataan bahwasanya ada orang lain yang diberikan kelebihan yang tidak kita miliki, dan menerima fakta bahwa masih banyak ruang bagi kita untuk belajar dan berkembang justru akan membuat semua ini lebih mudah buat kita. Bukanlah menolak kenyataan yang harus dilakukan, namun melihat sebuah kekalahan sebagai sebuah pembelajaran, dan sumber yang harus dievaluasi, kita harus melihat kekalahan sebagai sebuah ruang untuk berkembang, melihat kekalahan, sebagai sebuah kesempatan untuk memotivasi diri untuk segera berlatih, maju, dan menang. Kekalahan harusnya menyadarkan kita bahwasanya kita bukanlah manusia yang sempurna, dan bahwasanya kita masih memeliki banyak kekurangan yang harus segera ditutupi. Kekalahan harusnya membuat kita lebih baik, membuat kita lebih berkembang, dan bersemangat dalam menghadapi tantangan, bukan justru melemahkan kita, dan membuat kepala kita tertunduk lemas. Dalam setiap kekalahan ada momentum untuk bangkit, untuk berdiri kembali setelah beberapa saat tergeletak di tanah, untuk kembali berlari setelah tersandung beberapa batu kerikil ditengah jalan.  So now, wipe the sweat from your brow, and the tears from your eyes, and let’s keep pushing through and  go forward.

Pemenang adaalah dia yang mampu mengambil kekuatan dari sebuah kekalahan, axioma bahwasanya seseoarang harus memahami arti dari sebuah kekalahan untuk mencapai kemenangan.  yang hakiki mungkin ada benarnya. Karena seoarang pemenang haruslah seoarang yang mampu untuk mengalami dan menerima kenyataan. Seperti sebuah kata pepatah kuno, “A glod that has a flaw is better than a rock without it.” Bahwasanya sebuah kekalahan dimana kita bisa belajar itu akan lebih baik dari pada sebuah kemenangan yang justru akan menghentikan kita untuk berkembang. Last but not least, never ever waste your loses, if you have to lose, be a loser, but only do it for a sake to be the winner in the next turn.

"Never ever forget the taste of defeat"

Bara E. Brahmantika "il Grande Statista"