Lama sekiranya
kita telah terjebak dalam diam. Yang berhadiahkan angan-angan, dalam permainan
tebak tebakan untuk menyikap makna tersirat dalam setiap yang tersurat. Kita
diam dalam sebuah petak umpet, permainan kucing kucingan, takut apabila
dipertemukan dengan kebenaran.
Lama aku telah
menjadi bayang-bayang, yang hanya bisa menemanimu dalam gelap, dalam diam. Menikmati
keindahanmu dalam kesendirian, dalam kegelapaan. Takut apabila cahaya terang
benderang bersinar, memperlihatkan wujud asli yang terbungkus dalam bayangan,
menelanjangi setiap rasa dalam hati yang akhirnya akan membuatku terhapus dalam
kehidupanmu, bahkan hilang dari ingatan.
Dulu setiap
detik dari kita telah dihabiskan dalam perjalanan untuk saling bertemu, namun
tak pernah kita mencoba untuk menyamakan peta, ataupun menuju arah mata angin
yang sama, keangkuhan membuat jalan kita terpisah. kita diam, sambil berdoa
untuk menemukan jalan, bahwa suatu saat kita akan dipertemukan.
Pertemuan dua
hati hanya menjadi impian impian, sekedar imajinasi untuk menghibur diri. Cinta diberlakukan bak dewa, ia menjadi
pajangan yang disembah, kita berharap suatu saat ia akan tumbuh sendiri,
menemukannya jalannya sendiri, berharap rahasia kehidupan membawanya kepada
diri yang hanya diam dan menunggu disini.
Namun arus
kehidupan itu kuat dan kejam, tak ada toleransi bagi mereka yang memilih untuk
diam, air yang tak mengalir akan membeku sampai dasar apabila musim dingin
tiba, cinta yang terus terpendam akan mati,
terkubur dalam kekeringan di ruang tanpa cahaya. Jalannya waktu membuat
kebenaran makin terpojok, membuat kita semakin takut, takut kehilangan yang
akhirnya memaksa kita untuk berkata jujur dan memaksa kita untuk mengakui
bahwasanya tak seharusnya cinta dipajang dan disembah bagaikan dewa, bahwasanya
cinta bukan iming-iming belaka, ia nyata, dan ia tak dapat bertahan apabila ia
dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan, karena cinta itu adalah kita.
Cinta itu hidup,
dan ia perlu bergerak, perlu mengalir untuk terus hidup dan berkembang. Saatnya
bagi kita untuk memilih, ingin segera ku lepaskan jari ini dari tombol tunda,
membiarkan ranjau itu meledak, membiarkan gunung itu meletus sehingga tinggal
kebenaran yang tersisa diantara kita. Kebenaran bahwasanya tak perlu lagi aku
menjadi bayangan, hingga bisa kudekati
engkau dengan perlahan, tanpa harus saling membendung. Dimana langkah kaki kita
bisa sejalan, dan kita bisa saling bergandengan tangan untuk saling mengiring, hingga
kita berduapun lebur dalam kenyataan, dalam kebenaran yang menghangatkan.
Hingga yang tersisa adalah kenyataan yang akan meruntuhkan diam.
Teruntuk engkau, udara dan inspirasiku. terima kasih. "B"
Teruntuk engkau, udara dan inspirasiku. terima kasih. "B"
Bara E. Brahmantika, "Il Grande Statista"
Yogyakarta, 30 Januari 2012
more on : grandestatista.tumblr,com
more on : grandestatista.tumblr,com
No comments:
Post a Comment