Monday, January 30, 2012

Kau, Aku, dan Diam.



Lama sekiranya kita telah terjebak dalam diam. Yang berhadiahkan angan-angan, dalam permainan tebak tebakan untuk menyikap makna tersirat dalam setiap yang tersurat. Kita diam dalam sebuah petak umpet, permainan kucing kucingan, takut apabila dipertemukan dengan kebenaran.  

Lama aku telah menjadi bayang-bayang, yang hanya bisa menemanimu dalam gelap, dalam diam. Menikmati keindahanmu dalam kesendirian, dalam kegelapaan. Takut apabila cahaya terang benderang bersinar, memperlihatkan wujud asli yang terbungkus dalam bayangan, menelanjangi setiap rasa dalam hati yang akhirnya akan membuatku terhapus dalam kehidupanmu, bahkan hilang dari ingatan.

Dulu setiap detik dari kita telah dihabiskan dalam perjalanan untuk saling bertemu, namun tak pernah kita mencoba untuk menyamakan peta, ataupun menuju arah mata angin yang sama, keangkuhan membuat jalan kita terpisah. kita diam, sambil berdoa untuk menemukan jalan, bahwa suatu saat kita akan dipertemukan.

Pertemuan dua hati hanya menjadi impian impian, sekedar imajinasi untuk menghibur diri.  Cinta diberlakukan bak dewa, ia menjadi pajangan yang disembah, kita berharap suatu saat ia akan tumbuh sendiri, menemukannya jalannya sendiri, berharap rahasia kehidupan membawanya kepada diri yang hanya diam dan menunggu disini.

Namun arus kehidupan itu kuat dan kejam, tak ada toleransi bagi mereka yang memilih untuk diam, air yang tak mengalir akan membeku sampai dasar apabila musim dingin tiba, cinta yang terus terpendam akan mati,  terkubur dalam kekeringan di ruang tanpa cahaya. Jalannya waktu membuat kebenaran makin terpojok, membuat kita semakin takut, takut kehilangan yang akhirnya memaksa kita untuk berkata jujur dan memaksa kita untuk mengakui bahwasanya tak seharusnya cinta dipajang dan disembah bagaikan dewa, bahwasanya cinta bukan iming-iming belaka, ia nyata, dan ia tak dapat bertahan apabila ia dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan, karena cinta itu adalah kita.

Cinta itu hidup, dan ia perlu bergerak, perlu mengalir untuk terus hidup dan berkembang. Saatnya bagi kita untuk memilih, ingin segera ku lepaskan jari ini dari tombol tunda, membiarkan ranjau itu meledak, membiarkan gunung itu meletus sehingga tinggal kebenaran yang tersisa diantara kita. Kebenaran bahwasanya tak perlu lagi aku menjadi bayangan,  hingga bisa kudekati engkau dengan perlahan, tanpa harus saling membendung. Dimana langkah kaki kita bisa sejalan, dan kita bisa saling bergandengan tangan untuk saling mengiring, hingga kita berduapun lebur dalam kenyataan, dalam kebenaran yang menghangatkan. Hingga yang tersisa adalah kenyataan yang akan meruntuhkan diam.

Teruntuk engkau, udara dan inspirasiku. terima kasih. "B"

Bara E. Brahmantika, "Il Grande Statista"

Yogyakarta, 30 Januari 2012

more on : grandestatista.tumblr,com